'

Mabadi Asyrah Lengkap Ilmu Hadis


1. Al-Ism (Nama Ilmu)
Ilmu Hadis, berasal dari bahasa arab, yaitu al-‘ilm (kaumpulan kaidah) dan al-hadits (hadis Nabi). Penyebutan ini dimutlakkan atas ilmu hadis dirayah –mengenai pembagian ilmu hadis, akan dibahas pada poin takrif-. Ada pula yang menyebutnya dengan bentuk plural; ulum al-hadits (ilmu-ilmu hadis). Selain itu, ada beberapa nama lain; ilmu musthalah hadis dan ilmu ushul hadis. Sebagaimana ilmu ushul fikih menjadi pokok dari ilmu fikih, yang dengannya kita dapat mengetahui proses pelahiran suatu hukum dengan metode yang diterapkan oleh para ulama fikih, ilmu hadis merupakan pokok hadis, yang dengannya kita dapat mengetahui hadis yang diterima dan hadis yang ditolak berdasarkan spesifikasi yang telah digariskan oleh para ulama hadis.

2. Al-Ta’rif (Definisi)
Ilmu hadis dari tinjauan pembahasan, terbagi menjadi dua, yaitu: ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah. Keduanya memiliki definisi yang berbeda.
  • Ilmu Hadis Dirayah

Makna dirayah sendiri adalah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kaidah-kaidah. Para ulama memutlakkan penyebutan “Ilmu Hadis” (tanpa keterangan tambahan, seperti: “ilmu hadis riwayat”) mengarah pada ilmu hadis dirayah. Beda halnya ketika memaksudkan ilmu hadis riwayat, maka mereka memberikan keterangan “riwayat”.

Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang memuat kaidah-kaidah yang dengannya, dapat mengetahui ahwal al-sanad (kondisi dan keadaan sanad/rentetan perawi hadis), matan hadis (redaksi hadis), dari berbagai tinjauan, baik tinjauan sanad secara umum, seperti: sahih, hasan, dan dha’if, maupun tinjauan khusus seperti: sanad tinggi dan sanad rendah, atau tinjauan kondisi matan, seperti: marfu’, mauquf, dan maqthu’, juga mengenai metode penerimaan dan penyampaian hadis, dan sebagainya.
  •  Ilmu Hadis Riwayat

Ilmu Hadis Riwayat adalah ilmu yang mempelajari perkataan, perilaku, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi Muhammad dari segi kesesuaian periwayatan dan redaksi hadisnya. Dengan demikian, kita pahami bahwa cakupan pembahasan ilmu hadis riwayat lebih sempit dari pada ilmu hadis dirayah.

3. Al-Maudhu’ (Pokok Pemahasan)
Seperti yang telah disinggung dalam pengertian ilmu hadis dirayah, ilmu hadis memiliki pokok pembahasan seputar ahwal al-sanad (kondisi dan keadaan sanad/rentetan perawi hadis), matan hadis (redaksi hadis), dari berbagai tinjauan, baik tinjauan sanad secara umum, seperti: sahih, hasan, dan dha’if, maupun tinjauan khusus seperti: sanad tinggi dan sanad rendah, atau tinjauan kondisi matan, seperti: marfu’, mauquf, dan maqthu’, juga mengenai metode menerima dan penyampaian hadis, sifat-sifat perawi hadis, dan sebagainya.

4. Al-Tsamrah (Manfaat atau Hasil)
Manfaat yang bisa diperoleh dari memahami ilmu hadis adalah mampu mengetahui dan membedakan mana hadis yang diterima dan mana yang ditolak, beserta alasan-alasan yang bersifat argumentatif. Kedudukan ilmu hadis menjadi sangat penting mengingat konsentrasi pembahasannya berkutat pada hadis Baginda Nabi yang notabennya menjadi pedoman pokok Islam setelah Al-Qur’an. Bahkan, proses pelahiran hukum dalam segi i’tikad dan amaliah bergantung pada pengetahuan terhadap status hadis Nabi. Sehingga melahirkan konsekuensi yang berbeda ketika berdasar hadis yang mutawatir, dan berdasar dengan hadis ahad, hadis sahih dengan hadis dha’if, dan seterusnya.

5. Al-Fadhl (Keutamaan)
Melihat kedudukan ilmu hadis dalam lingkup ilmu syariat, rasanya kemuliaannya sudah tidak diragukan lagi. Ilmu hadis termasuk disiplin ilmu yang paling mulia, Sebagaimana telah dijelaskan kedudukan dan kemuliaannya oleh para ulama. Di antaranya, Imam Muhammad bin Yusuf al-Kirmani pada mukadimah syarah Sahih Bukhari, mengatakan:
“Ilmu hadis memiliki kedudukan tertinggi dan termulia setelah Al-Qur’an. Sebab, dengannya kita bisa mengetahui kehendak Allah yang terkandung dalam kalam-Nya (melalui hadis-hadis Nabi), tampak jelas maksud dan tujuan dari hukum-hukumnya ....”
6. Al-Nisbah (Nisbat atau Hubungan)
Ilmu hadis tergolong ilmu syariat, dan masuk dalam kategori ulum al-wasail (ilmu-ilmu yang menjadi sarana) untuk menuju hadis Nabi yang merupakan ilm min ulum al-maqashid (ilmu yang dituju).

7. Al-Istimdad (Pengambilan atau Referensi Dasar)
Pengambilan dasar ilmu hadis dari Al-Qur’an, sunah Nabi, dan studi perawi hadis. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa berita, maka bertabayunlah .... “ (QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat tersebut memerintahkan kita untuk benar-benar cermat dan teliti terhadap riwayat yang datang kepada kita, dengan  mengkonfirmasi kebenarannya, sehingga kita dapat membedakan mana riwayat yang benar dan mana yang tidak.

Selain Al-Qur’an, Nabi juga memberikan rambu-rambu khusus berkenaan dengan pengidentifikasian kebenaran hadis yang disandarkan kepada Baginda Nabi, dengan mengatakan:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barang siapa yang menyampaikan dari suatu hadis, nampak dirinya adalah seorang pembohong, maka ia termasuk pendusta.” (Mukadimah Sahih Muslim)

Dengan demikian, para ulama sangat selektif sekali dalam masalah periwayatan hadis, agar menolak ucapan-ucapan ngawur yang dinisbatkan kepada Baginda Nabi.

8. Al-Wadhi’ (Peletak Dasar)
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa peletak dasar merupakan orang yang pertama kali mengkodifikasikan suatu ilmu, sehingga terkumpul dalam satu catatan atau kaidah besar, yang bisa dijadikan pegangan dan rujukan, serta membedakan ilmu tersebut dengan ilmu lain. Dengan makna yang luas ini, pengertiannya tidak terbatas pada penemu ilmu saja. Sebab, jika baru ditemukan pada waktu B, maka orang-orang yang hidup di zaman A tidak mengerti akan ilmu tersebut.

Ulama pertama yang mengumpulkan kaidah-kaidah ilmu hadis dan membukukannya adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (wafat tahun 369 H) melalui bukunya: “al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i”. Kemudian datang setelahnya, al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Naisaburi (wafat tahun 405 H) dengan bukunya yang berjudul “Ma’rifah Ulum al-Hadits”. Kemudian ada al-Hafidh Ahmad bin Abdullah al-Ashbahani (wafat tahun 430 H) yang membuat mustakhraj kitabnya al-Hakim al-Naisaburi. Seiring berjalannya waktu, muncul ulama-ulama yang terus melengkapi kaidah dalam ilmu hadis.

9. Al-Hukm (Hukum Mempelajari)
Hukum mempelajari ilmu hadis adalah fardu kifayah. Atrinya, kewajiban ini terbilang gugur jika dalam satu daerah, sudah ada yang mempelajarinya.

10. Al-Masail (Persoalan atau Permasalahan)
Cakupan permasalahan yang dipelajari dalam ilmu hadis berkutat pada sanad dan matan. Seperti syarat-syarat hadis sahih, metode pengambilan hadis dan penyampaiannya, dan lain sebagainya.

Rekomendasi Kitab-kitab
Kitab-kitab Hadis
Ø  al-Arba’in al-Nawawiyah (Imam Nawawi al-Dimasqi)
Ø  al-Syama’il al-Muhammadiyah (Imam al-Tirmidzi)
Ø  al-Adzkar (Imam Nawawi al-Dimasqi)
Ø  Riyadh al-Shalihin (Imam Nawawi al-Dimasqi)
Ø  al-Kutub al-Sittah (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Jami’ al-Tirmidzi, & Sunan Ibnu Majah)

Kitab-kitab Musthalah Hadis (Ilmu Hadis)
Ø  Nuzhah al-Nadhar Syarh Nukhbah al-fikar (Imam Ibnu Hajar al-Asqallani)
Ø  Syarh al-Ajhuri ‘ala al-Baiquniah ma’a Hasyiyah al-Zurqani
Ø  Qawaid fi Ulum al-Hadits (al-Tahanawi)
Ø  Ulum al-Hadits (Imam Ibnu Shalah)
Ø  Tadrib al-Rawi (Imam al-Suyuthi)

Demikian penjelasan singkat mengenai mabadi asyrah ilmu hadis. Semoga bermanfaat.
LihatTutupKomentar